Beranda | Artikel
Makna dan Cakupan Ibadah
Selasa, 22 Maret 2022

MAKNA DAN CAKUPAN IBADAH

Ibadah Adalah Hikmah Penciptaan
Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan kepada kita bahwa Dia menciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ

Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. [Adz-Dzâriyât/51:56]

Oleh karena itu Allâh Subhanahu wa Ta’ala memberikan ujian dengan perintah ibadah, melaksanakan perintah, dan menjauhi segala larangan-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا

(Allâh) Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. [Al-Mulk/67: 2]

Maka semua yang berakal, dari kalangan jin dan manusia, semenjak dewasa sampai meninggal dunia dia berada dalam ujian dan cobaan.

Kalau kita memahami hal ini, maka alangkah pentingnya kita mengetahui makna ibadah dan cakupannya, sehingga kita bisa mengisi hidup kita dengan ibadah sehingga bisa meraih ridha Allâh Azza wa Jalla

Ta’rif Ibadah Secara Bahasa dan Istilah
Ibadah secara bahasa adalah ketundukan dan kerendahan atau kepatuhan, seperti perkataan bangsa Arab, “Tharîq mu’abbad” artinya jalan yang merendah karena diinjak oleh telapak kaki. Atau seperti perkataan “ba’îr mu’abbad” artinya onta yang patuh.

Az-Zajaj rahimahullah (wafat 311 H), seorang ahli bahasa Arab, berkata, “Ibadah dalam bahasa maknanya ketaatan disertai ketundukan”.[1]

Ar-Raghib al-Ash-bihani rahimahullah (wafat 425 H), seorang ahli bahasa Arab, berkata, “’Ubudiyah adalah menampakkan ketundukan, sedangkan ibadah lebih tinggi darinya, karena ibadah adalah puncak ketundukan”.[2]

Sedangkan, ibadah secara istilah, para ulama telah menjelaskannya dengan ungkapan yang berbeda-beda, namun intinya sama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah (wafat 728 H) berkata, “Ibadah adalah satu istilah yang menghimpun seluruh apa yang dicintai dan diridhai oleh Allâh, baik berupa perkataan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.”[3]

Penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini mencakup seluruh jenis ibadah dalam agama Islam.

Cakupan Ibadah
Ibadah dalam agama Islam mencakup ibadah mahdhah dan ibadah ghairu mahdhah.

1. Ibadah mahdhah
Ibadah mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya memang merupakan ibadah, berdasarkan nash atau lainnya yang menunjukkan perkataan dan perbuatan tersebut haram dipersembahkan kepada selain Allâh Azza wa Jalla .

Dalam kitab ad-Dînul Khâlish, 1/215, disebutkan  pengertian ibadah mahdhah, “Segala yang diperintahkan oleh Pembuat syari’at (yaitu:  Allâh Subhanahu wa Ta’ala -pen), baik berupa perbuatan atau perkataan hamba yang dikhususkan kepada keagungan dan kebesaran Allâh Azza wa Jalla .”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wudhu adalah ibadah, karena ia tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, dan semua perbuatan yang tidak diketahui kecuali dari Pembuat syari’at, maka itu adalah ibadah, seperti shalat dan puasa, dan karena hal itu juga berkonsekuensi pahala.”[4]

Maka semua perbuatan atau perkataan yang ditunjukkan oleh nash atau ijma’ atau lainnya, atas kewajiban ikhlas padanya, maka itu adalah ibadah dari asal disyari’atkannya, sedangkan yang tidak demikian maka itu bukan ibadah dari asal disyari’atkannya, namun bisa menjadi ibadah dengan niat yang baik, sebagaimana penjelasan berikutnya.

Ibadah mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Ibadah hati yaitu keyakinan dan amalan
Ibadah hati yang terbagi menjadi dua bagian:

  1. Qaulul qalbi (perkataan hati), dan dinamakan i’tiqâd (keyakinan; kepercayaan). Yaitu keyakinan bahwa tidak ada Rabb (Pencipta; Pemilik; Penguasa) selain Allâh, dan bahwa tidak ada seorangpun yang berhak diibadahi selain Dia, mempercayai seluruh nama-Nya dan sifat-Nya, mempercayai para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Akhir, taqdir baik dan buruk, dan lainnya.
  2. ‘Amalul qalbi (amalan hati), di antaranya ikhlas, mencintai Allâh Subhanahu wa Ta’ala , mengharapkan pahala-Nya, takut terhadap siksa-Nya, tawakkal kepada-Nya, bersabar melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dan lainnya.

b. Ibadah perkataan atau lisan
Di antaranya adalah mengucapkan kalimat tauhid, membaca al-Qur’an, berdzikir kepada Allâh dengan membaca tasbîh, tahmîd, dan lainnya; berdakwah untuk beribadah kepada Allâh, mengajarkan ilmu syari’at, dan lainnya.

c. Ibadah badan
Di antaranya adalah melaksankan shalat, bersujud, berpuasa, haji, thawaf, jihad, belajar ilmu syari’at, dan lainnya.

d. Ibadah harta
Di antaranya adalah membayar zakat, shadaqah, menyembelih kurban, dan lainnya.

2. Ibadah ghairu mahdhah
Ibadah ghairu mahdhah adalah perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan yang asalnya bukan ibadah, akan tetapi berubah menjadi ibadah dengan niat yang baik.

Namun, jika perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dilakukan dengan niat yang buruk akan berubah menjadi kemaksiatan, dan pelakunya mendapatkan dosa. Seperti, melakukan jual beli untuk mendapatkan harta dengan niat untuk melakukan maksiat; makan minum agar memiliki kekuatan untuk mencuri; mempelajari ilmu yang mubah, seperti kedokteran atau teknik, dengan niat untuk mendapatkan pekerjaan yang dengan pekerjaan itu dia bisa melakukan perbuatan maksiat.

Jika seseorang melakukan perbuatan-perbuatan dan perkataan-perkataan ini dengan tanpa niat yang baik atau niat buruk, maka perbuatan tersebut tetap pada hukum asalnya, yaitu mubah.

Ibadah ghairu mahdhah ini mencakup hal-hal sebagai berikut:
a. Melaksanakan wâjibât (perkara-perkara yang diwajibkan) dan mandûbât (perkara-perkara yang dianjurkan) yang asalnya tidak masuk ibadah, dengan niat mencari wajah Allâh

Misalnya:

  1. Mengeluarkan harta untuk keperluan diri sendiri, seperti makan, minum, dan sebagainya, dengan niat menguatkan badan dalam melaksanakan ketaatan kepada Allâh.
  2. Berbakti kepada orang tua dengan niat melaksanakan perintah Allâh.
  3. Memberi nafkah kepada anak dan istri dengan niat melaksanakan perintah Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
  4. Mendidik anak dan membiayai sekolahnya dengan niat agar mereka bisa beribadah kepada Allâh dengan baik.
  5. Menikah dengan niat menjaga kehormatan diri sehingga tidak terjatuh ke dalam zina.
  6. Memberi pinjaman hutang dengan niat menolong dan mencarai pahala Allâh.
  7. Memberi hadiah kepada orang dengan niat mencari wajah Allâh.
  8. Memuliakan tamu dengan niat melaksanakan perintah Allâh.
  9. Memberi tumpangan kepada seorang yang tua agar sampai ke tempat tujuannya dengan niat mencari wajah Allâh.

Di antara dalil yang menunjukkan hal itu sebagai ibadah adalah hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَنْفَقَ الرَّجُلُ عَلَى أَهْلِهِ يَحْتَسِبُهَا فَهُوَ لَهُ صَدَقَةٌ

Dari Abu Mas’ûd Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , Beliau bersabda, “Jika seorang laki-laki mengeluarkan nafkah kepada keluarganya yang dia mengharapkan wajah Allâh dengan-Nya, maka itu shadaqah baginya”. [HR. Al-Bukhâri, no. 55]

Dalam hadits lain diriwayatkan:

عَنْ سَعْدِ بْنِ أَبِي وَقَّاصٍ، أَنَّهُ أَخْبَرَهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِي بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلَّا أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فَمِ امْرَأَتِكَ

Dari Sa’ad bin Abi Waqqâsh Radhiyallahu anhu, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya engkau tidak mengeluarkan nafkah yang engkau mencari wajah Allâh dengan-Nya kecuali engkau diberi pahala padanya, termasuk apa yang engkau taruh di mulut istrimu”. [HR. Al-Bukhari, no. 56]

b. Meninggalkan muharramât (perkara-perkara yang diharamkan) untuk mencari wajah Allâh Azza wa Jalla
Termasuk dalam hal ini adalah meninggalkan riba, meninggalkan perbuatan mencuri, meninggalkan perbuatan penipuan, dan perkara-perkara yang diharamkan lainnya. Jika seorang Muslim meninggalkannya karena mencari pahala Allâh, takut terhadap siksa-Nya, maka itu menjadi ibadah yang berpahala.

Namun jika seorang Muslim meninggalkan suatu perbuatan maksiat karena tidak mampu melakukannya, atau karena takut terhadap had dan hukuman, atau tidak ada keinginan, atau sama sekali tidak pernah memikirkannya,  maka dia tidak mendapatkan pahala.

Dalilnya adalah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” يَقُولُ اللَّهُ: إِذَا أَرَادَ عَبْدِي أَنْ يَعْمَلَ سَيِّئَةً، فَلاَ تَكْتُبُوهَا عَلَيْهِ حَتَّى يَعْمَلَهَا، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا بِمِثْلِهَا، وَإِنْ تَرَكَهَا مِنْ أَجْلِي فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَعْمَلَ حَسَنَةً فَلَمْ يَعْمَلْهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ حَسَنَةً، فَإِنْ عَمِلَهَا فَاكْتُبُوهَا لَهُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِ مِائَةِ ضِعْفٍ “

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allâh berfirman: Jika hamba-Ku berkeinginan melakukan keburukan, maka janganlah kamu menulisnya sampai dia melakukannya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah dengan semisalnya. Dan jika dia meninggalkannya karena Aku, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia berkeinginan berbuat kebaikan, lalu dia tidak melakukannya, maka tulislah satu kebaikan untuknya. Jika dia telah melakukannya, maka tulislah baginya sepuluh kalinya sampai 700 kali”. [HR. Al-Bukhâri, no. 7501]

c. Melakukan mubâhât (perkara-perkara yang dibolehkan) untuk mencari wajah Allâh Subhanahu wa Ta’ala
Di antaranya tidur, makan, menjual, membeli, dan usaha lainnya dalam rangka mencari rezeki. Semua ini dan yang semacamnya hukum asalnya adalah mubah. Jika seorang Muslim melakukannya dengan niat menguatkan diri untuk melaksanakan ketaatan kepada Allâh, maka hal itu menjadi ibadah yang berpahala.

Dalil adalah hadits Abu Mas’ud dan Sa’ad yang telah lewat. Demikian juga perkataan Mu’adz bin Jabal, ketika ditanya oleh Abu Musa al-Asy’ari, “Bagaimana engkau membaca al-Qur’an?” Beliau Radhiyallahu anhu menjawab:

أَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ، فَأَقُومُ وَقَدْ قَضَيْتُ جُزْئِي مِنَ النَّوْمِ، فَأَقْرَأُ مَا كَتَبَ اللَّهُ لِي، فَأَحْتَسِبُ نَوْمَتِي كَمَا أَحْتَسِبُ قَوْمَتِي

Aku tidur di awal malam, lalu aku bangun dan aku telah memberikan bagian tidurku, lalu aku membaca apa yang Allâh takdirkan untukku. Sehingga aku mengharapkan pahala pada tidurku, sebagaimana aku mengharapkan pahala pada berdiri (shalat) ku”. [HR. Al-Bukhâri, no. 4341]

Ini semua menunjukkan bahwa ibadah mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Semoga Allâh memberikan kemudahan dan kemampuan kepada kita untuk beribadah kepada-Nya dengan sebaik-baiknya.

(Disadur oleh Abu Isma’il Muslim al-Atsari dari kitab Tashîl al-‘Aqîdah al-Islâmiyyah, hlm. 65-72, penerbit: Darul ‘Ushaimi lin nasyr wa tauzi’, karya Prof. Dr. Abdullah bin Abdul ‘Aziz bin Hammâdah al-Jibrin, dan rujukan-rujukan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIX/1437H/2016M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1] Lisânul ‘Arab, bab: ‘abada
[2] Mufradât Alfâzhil Qur’ân, hlm. 542
[3] Al-‘Ubudiyah, hlm: 23, dengan penelitian: Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi hafizhahullâh
[4] Al-Mustadrak ‘ala Majmû’ al-Fatâwâ, 3/29; Mukhtashar al-Fatâwâ al-Mishriyah, hlm. 28


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/53392-makna-dan-cakupan-ibadah-2.html